Pada seri terakhir ini, akan kita explore Perkebunan teh Malabar, perkebunan tertua di pangalengan, kemudian diikuti oleh perkebunan teh yang lainnya seperti Kertamanah, Pasir Malang, Poerbasari, Santosa, Talun dan Sedep.
Diprakarsai oleh oleh K.A.R Bosscha seorang sarjana teknik lulusan Universitas Delft di Belanda. Di danai oleh pamanya sendiri Edward Kerkhoven yang telah lebih dulu mengepalai perkebunan teh di daerah Assam India. Tercatat sebelum perang dunia kedua, daerah Bandung Selatan merupakan penghasil komoditi penting dunia (Teh dan kina). Dari hasil perkebunan inilah seorang K.A.R Bosscha dapat menyumbang berbagai yayasan di Belanda, ikut mendanai ITB (Dulu Technologie Hogeschool), Societeit Concordia (Sekarang Gedung Merdeka di jalan Asia Afrika Bandung), Sekolah Luar Biasa Cicendo Bandung dan sebuah karya fenomenal Observaterium Peneropongan Bintang Boscha.
Ironis memang dengan keadaan sekarang, bisa anda lihat di perkebunan peninggalan orang Belanda itu. Sejak di nasionalisasi pada tahun 1950-an, saat ini Perkebunan teh Malabar dibawah koordniasa PTP Nusantara 8. Secara kasat mata tidak ada perubahan dan perkembangan yang signifikan. Jika dahulu Orang Belanda yang katanya “penjajah“, rajin menyumbang ke sana kemari dari keuntungan perkebunan, pengurus yang sekarang belum seperti itu, kesejahteraan karyawan tidak beranjak naik. Info terkahir dari paman saya sendiri seorang pensiunan pegawai teknik di sana, menerima uang pensiunan perbulanya tidak lebih dari 300 ribu :( . Asal pembaca tahu, produk Perkebunan Teh Malabar memiliki qualitas export, teh hitam yang terkenal di pasar luar negeri seperti Inggris dan Jepang, tentunya tidak murah. dan sampai sekarang belum pernah penulis menemukan produk Perkebunan teh Malabar di pasaran lokal.
De poort van theeonderneming Malabar (1943)
Pintu gerbang selatan menunju afdeling (perumahan pegawai) dan pabrik teh Perkebunan Malabar, nampak ciri khas bangunan tradisional Sunda yang sampai sekarang keberadaannya masih terpelihara di kampung Malabar Pangalengan.
Het wegen van de thee-oogst na de ochtendpluk, Malabar (1930)
Kegiatan penimbangan (wegen) pemetik teh (thee-oogst) pada pemetikan teh pagi hari (ochtendpluk). sebelum teh tersebut dibawa ke pabrik untuk diolah.
Verzending van thee vóór de invoering der vrachtauto’s, thee-onderneming Malabar
Kurang lebih artinya “Pengiriman teh untuk dimasukan kedalam kendaraan angkut (mobil barang). Tidak jelas kendaraan apa yang dimaksud, kemungkinan teh tersebut dianggkut menggunakan kereta kuda ke Stasiun Banjaran, kemuadian dari sana dianggkut ke Bandung dilanjutkan ke pelabuhan Cirebon menggunakan kereta api. Selanjutnya produk teh ini didistribusikan ke seluruh dunia.
Theefabriek Tanara, Pengalengan (voor/before 1943)
Sebuah pabrik pengolahan teh antara Malabar dan Cibolang, bila anda berniat menuju kolam pemandian air panas Cibolang, anda akan melewati pabrik ini, ditempat inilah kakek bekerja sebagai staff, dan 3 orang anaknya yang menjadi pegawai teknik. Rekrutmen pegawai di perkebunan masih bersifat turun temurun.
Tanara- en Malabar theetuinen, hoogvlakte van Pengalengan (1949)
Administrateurswoning van de theeonderneming Malabar, Pengalengan (1952)
Rumah kediaman adminstratur Perkebunan Teh Malabar, tempat tinggal K.A.R Bosscha pada saat menglola perkebunan. Tampak background dari bangunan ini adalah Gunung Nini, tempat sang juragan perkebunan mengamati seluruh kegiatan perkebunan. Dari Gunung tersebut akan terlihat jelas seluruh landscape Pangalengan, tentunya bila tidak turun kabut :) . Pemeliharaan rumah ini (Wisma Malabar) sekarang dipegang oleh PTP Nusantara 8, sayangnya tempat ini sering digunakan kegiatan yang tidak bermoral seperti Uka-uka dan unji nyali.
Tji Bolang Tanara, Assamthee-onderneming, Malabar (1927)
Cibolang merupakan sebuah perkampungan kecil di kaki Gunung Wayang Windu, salah satu andalan objek wisata di Pangalengan karena disana terdapat kolam pemandian air panas.
pangalengan pun memiliki ciri khasnya lagi yaitu sebagai kota susu sapi.Setiap daerah tentu memiliki makanan khas daerah tersebut, Majalaya punya borondong, Ciwidey dengan Kalua Jeruk nya (manisan kulit jeruk Bali), tak terkecuali Pangalengan. Orang tentu telah mengenal permen susu atau sering disebut caramel hasil olahan para pengrajin di Pangalengan, selain itu teradapat juga kerupuk susu, dodol susu, tahu susu, noga susu dll.
Semua itu tidak terlepas dari adanya peternakan sapi perah di Pangalengan, peternakan sapi di sana mempunyai sejarah yang cukup panjang, dari penuturan Haryoto Kunto (Kuncen Bandung), ada sejumlah pelarian perang Boer di Afrika Selatan yang datang ke daerah Bandung pada zaman Kolonial Belanda, mereka mendirikan usaha diberbagai sektor, diantaranya mendirikan Dennish Bank (sekaranng Bank Jabar), membuka perkebunan, dan peternakan, salah satu nya di Pangalengan (Baca : Balai Agung di Kota Bandung-Haryoto Kunto).
Peternakan sapi didirikan untuk kepentingan gizi orang-orang Belanda. Orang Belanda memang suka minum susu. Saat itu peternakan sapi perah hanya dimiliki oleh orang Belanda. Para pribumi hanyalah pekerja. Di Pangalengan terdapat beberapa perusahaan besar, seperti De Friesche Terp (B. Vrijburg),Almanak, Van der Els, dan Big Man. Sedangkan di Lembang ada Baroe Adjak. Photo di samping diambil dari situs Kitlv.nl, merupakan photo kantor peternakanDe Friesche Terp di Pangalengan sekitar tahun 1930, deskripsi nya adalah “ De Friesche Terp, melkveeboerderij te Pengalengan, opgericht door veearts B. Vrijburg“, hmm… ada yang tahu artinya :) , coba perhatikan benderanya, mirip dengan gambar yang terdapat pada kaleng susu bendera yang ada di pasaran sekarang ini. Jangan-jangan perusahan Fresland Flag yang ada di Belanda merupakan kelanjutan De Friesche Terp, boleh minta komentar kepada siapa saja yang tahu banyak tentang perusahaan ini.
Setelah Jepang masuk, perusahaan itu dengan sendirinya tidak beroperasi lagi. Sejumlah ternak sapi kemudian dipelihara oleh warga. Sebagian perusahan peternakan itu di nasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1959 dengan keluarnya PP 12/1959 tentang Penentuan Perusahaan Peternakan Milik Belanda Yang Dikenal Dengan Nasionalisasi.
Koperasi susu di Pangalengan adalah yang tertua di Jawa Barat. Tahun 1949 para peternak mendirikan koperasi bernama Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan (Gappsip). Namun pada tahun 1961, Gappsip bubar karena tidak mampu menghadapi labilnya perekonomian Indonesia. Pada tahun 1969, dengan inisiatif pemerintah dan masyarakat, terbentuklah sebuah koperasi yang sekarang dikenal dengan nama KPBS (kompas.com) .
Para peternak menjadi anggota dari koperasi tersebut, menjual susu yang mereka produksi ke koperasi untuk kemudian dijual kembali oleh KPBS ke pabrik pengolahan susu (perusahan Susu yang saya ketahui salah satu nya adalah PT. Ultra Jaya). Uang hasil penjualan susu tersebut tidak diberikan langsung setiap hari kepada peternak, tetapai diakumulasi yang kemudaian diberikan setiap awal bulan (semacan gajian). Bila ada yang berkesampatan ke Pangalengan setiap pukul 6:00 atau 14:00 akan terlihat aktivitas penyetoran susu hasil perahan yang dipikul oleh peternak menggunakan tong penampung susu (sering kali disebut Bess) diangkut ke tempat-tempat penampungan susu di seluruh area kerja KPBS (Komda).
Selain dijual, ada sebagian susu yang dijadikan makanan olahan, seperti Permen Susu, Kerupuk Susu, Tahu Susu dan Dodol susu, ”All about Milk”, daerah pemasarannya sudah memasuki kota besar seperti Bandung dan Jakarta. Jangan lupa! sekembali dari Pangalengan mapirlah di kios oleh-oleh pengganan susu ini yang bisa ditemukan di sepanjang jalan dari Pangalengan menuju Banjaran.
Tulisan ini terinspirasi setelah membaca sebuah artikel Harian Pikiran Rakyat berjudul Siap-Siap Keju Pangalengan Datang, tentang sebuah ide untuk mengembangkan pembuatan keju dari susu sapi perah lokal Pangalengan. Ide tersebut baru sebuah wacana dengan tujuan untuk memperoleh nilai tambah bagi usaha produksi sapi perah. Terakhir saya ke Pangalengan, belum ada realisasi dari rencana tersebut. Mungkin baru diadakan persiapan matang, yang membutuhkan kerjasama yang solid antara Pemerintah daerah, KPBS, peternak dan Dinas Peternakan Jawa Barat. Mudah-mudahan dengan terealisasi nya usaha tersebut dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, dan produknya sendiri dapat dijadikan komoditas unggulan Pangalengan. Why Not, Semua itu perlu dicoba.
Situ Cileunca
SITU Cileunca Dan Cerita MISTIS
SITU Cileunca menjanjikan panorama alam nan indah. Tak heran, dulu, orang-orang sempat menjuluki tempat tersebut sebagai Swiss-nya Indonesia. Namun, di balik keindahannya, kawasan ini menyimpan cerita-cerita mistis, yang oleh sebagian warga sekitar masih dipercayai.
SITU Cileunca berada 45 km sebelah selatan Kota Bandung, tak jauh dari Kota Kecamatan Pangalengan. Genangan air seluas 180 hektare itu diapit dua desa, yakni Warnasari dan Pulosari. ”Sebenarnya, Situ Cileunca itu ada dua buah. Cileunca Satu memiliki luas 210 hektare dan ini, Situ Cileunca Dua, memiliki luas 180 hektare,” ungkap Asep Jabog (50), salah seorang tokoh masyarakat setempat, kepada ”PR”, belum lama ini.
Ia berkisah, dulu, Situ Cileunca merupakan kawasan milik pribadi seorang Belanda. ”Namanya Kuhlan,” katanya.
Pembangunan situ tersebut dilaksanakan selama 7 tahun (1919-1926) dengan cara membendung aliran kali Cileunca. ”Uniknya, berdasarkan penuturan orang-orang tua dulu, situ ini dibangun oleh banyak orang. Tak menggunakan cangkul, tapi menggunakan halu,”ujarnya.
Pembangunan situ tersebut, tuturnya, dikomandani dua orang pintar, yakni Juragan Arya dan Mahesti. Maka, tak heran, makam Mahesti dijadikan tempat keramat oleh masyarakat setempat. ”Soal yang suka berkunjung, tak cuma orang sini, tapi banyak juga orang dari luaran,” kata Ade Rowi (35), salah seorang tukang perahu di sana.
Ada banyak kisah mistis di Situ Cileunca. Satu yang sering didengar orang adalah ”pertunjukan wayang”. Asep Jabog membenarkan hal tersebut. ”Tapi, sekarang, sudah jarang terdengar. Da kalakumaha oge, sanget mah kumaha sungut, ceuk basa Sundana mah. Dulu, berdasarkan cerita, ada sekelompok penabuh wayang (dalang berikut para sinden dan nayaga,- red.) yang tenggelam di Situ Cileunca. Sejak itu, masyarakat sering mendengar raramean. Padahal, tidak ada apa-apa,” kata Asep.
Asep juga mengatakan, sebenarnya, ada dua siluman yang terkenal di Situ Cileunca. Lulun Samak dan Dongkol. Lulun Samak adalah “sesuatu” yang mematikan dengan cara menggulung mangsa. Sementara, Dongkol adalah “sesuatu” yang berwujud kepala kerbau.
”Tapi, sekarang, keduanya sudah tidak ada lagi di sini. Dengar-dengar mah, ada di Situ Bagendit. Soalnya, Situ Cileunca ini ’berhubungan’ dengan dua situ lainnya, yakni Bagendit dan Patengan. Coba saja lihat, kalau Cileunca surut, yang lainnya juga surut,” ujar Asep Jabog.
Hingga kini, kisah mistis di Situ Cileunca tetap saja berlangsung. Tentu, dalam taraf yang tidak membahayakan. ”Ya, jangan terkejut ketika berkemah di sini ada yang tiba-tiba nimbrung,” ujar Asep.
Satu hal yang dia khawatirkan adalah situasi objek wisata yang memanas. Dalam penilaiannya, penempatan kompleks peristirahatan di Situ Cileunca tidaklah tepat. “Jigana, baheula, keur nyieunna teu make bismillah-bismillah acan. Jadi, menta tumbal. Saya khawatir, tumbal yang diminta itu terjadi dalam waktu dekat ini. Soalnya, situasi di tempat tersebut, akhir-akhir ini, memanas,” ujar Asep Jabog.
“Ayam kampung”
Di siang hari, apalagi ketika langit cerah, Situ Cileunca benar-benar memanjakan pengunjung dengan keindahan alamnya. Dari atas perahu yang melaju perlahan di riak tenang air danau, pengunjung dapat memutar pandangan, menatap hamparan hijau kebun teh. Nun jauh di sana, tiga gunung berdiri dengan jemawa. Gunung Malabar, Wayang, dan Gunung Windu.
“Malam hari, di sini juga ramai. Banyak ayamnya. Bukan ayam biasa. Ditanggung nikmat,” Ade Rowi berucap. Tak berseloroh dia. Meski tak tahu persis berapa jumlah “ayam” yang ada, Ade mengaku bisa mempertemukan pelanggan. Tinggal mengontak koordinator. “Soal tempat, kebanyakan orang menggunakan fasilitas saung di kampung seberang danau. Sewanya, Rp 150.000,00 semalam,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, “ayam-ayam kampung” yang ada di sana tak berlaku agresif. Dalam kesehariannya, mereka beraktivitas sebagaimana biasa. Malam pun, mereka tak kelayapan, agresif mencari pelanggan. “Nah, kalau ada yang pesan, barulah mereka keluar rumah. Kalau enggak, ya tinggal saja di rumah,” tuturnya.
Kebanyakan, katanya, “ayam-ayam kampung” merupakan produk perceraian di usia yang masih belia. ”Soal tarif, ya paling-paling Rp 50.000,00 sampai Rp 150.-000,00,” kata Ade Rowi. (Hazmirullah/”PR”)***
Sumber : Harian Pikiran Rakyat, Selasa, 25 April 2006
SITU Cileunca, Danau Buatan Zaman BELANDA
Danau atau situ cileunca itu dibangun sejak Zaman Belanda. Dulu situ cileunca merupakan kawasan milik pribadi seorang Belanda bernama “Kuhlan”. Pembangunan situ itu dilaksanakan selama 7 tahun (1919-1926)Pembangunan situ cileunca sekitar tahun 1929
menggerakan turbin pembangkit listrik plengan yang merupakan salah satu sumber listrik kota Bandung zaman kolonial,
selain itu debit air nya diuganakan sebagai cadangan sumber air bersih kota Bandung kala itu. Berkapasitas 9,89 Juta M3 Air. Untuk mencapai kapasitisa setinggi itu Bendungan Pulo dipertinggi pada tahun 1940 (Baca “Sejarah PLN Jawa Barat).
Setelah melewati kampung-kampung kecil… jalan yang naik turun lembah.. berkelok kelok.. semakin terlihat jelas luas nya danau, Situ Cileunca beCileunca dilihat dari Photo Satelit rada 45 km sebelah selatan Kota Bandung, tak jauh dari Kota Kecamatan Pangalengan. Genangan air seluas 180 hektare itu diapit dua desa, yakni Warnasari dan Pulosari. Sebenarnya, Situ Cileunca itu ada dua buah. Cileunca Satu memiliki luas 210 hektare dan ini, Situ Cileunca Dua, memiliki luas 180 hektare,” jika dilihat dari Photo satelit imagery milik Google Earth, bentuk nya emang tidak karuan… merupakan titik temu beberapa mata air yang diblok oleh sebuah bendungan yang sekarang diberi nama Dam Pulo.
Motor terus berjalan, kami melewati perkebunan teh Pasir malang, tempat dimana bapak ku dilahirkan… ditempat itu sewaktu masih bocah… aku bermain-main di sungai cilaki .. sementara bapak sibuk mengurusi kolam ikan peninggalan kakek, karena keterbatasan waktu, kami melawati saja tempat itu.. Insaya Allah suatu saat klo ada waktu aku mau menyempatkan diri melihat tanah leluhurku itu.
Begitu banyaknya peninggalan zaman kolonial… istri ku berkomentar “kenapa semua ini ngak dikembangkan”, sejenak kurenungkan komentar itu.. ada benarnya juga… betapa tidak kreatifnya kita.. sehingga ada orang mengatakan.. apakah kalian menyesal setelah kemerdakaan yang dengan susah payah diraih.. melihat kemdandekan kreatifitas negeri ini.. Whatever (Teuing Ah..).
Setelah melewati beberapa perkebunan teh rakyat, jembatan jembatan kecil melintasi danau dengan udara yang sejuk, sampai juga kami ke gerbang utama wisata “Situ Cileunca”, tidak banyak pengunjung waktu itu … mungkin karena jam sudah mepet menunju waktu sholah jum’at. Ada satu dua perahu yang tertambat di pinggir danau, kami lihat hanya ada satu perahu yang sedang beroperasi.
Cileunca.. danau penuh mitos.. dari dulu sudah beredar mitos penguasa danau itu.. nama nya Abah Suta… Konon katanya dia pernah bermusuhan dengan orang Garut… ada kepercayaan orang Garut dan keturunan jangan sekali-kali menyebrangi danau itu.. takut nantinya Mbah Suta marah… perahunya bakal ditenggelamkan (Padahal… kakek dari ibu orang garut juga.. so aku juga keturunan orang garut atuh… he..he..he…).
Kami sampai di ujung danau, terbentang Dam Pulo yang memberi kesan kokoh. Kami berhenti sesaat untuk melepas lelah, tak lupa photo2x seperti hal nya kebanyakan orang yang sedang piknik (ideal nya plus makan ditempat terbuka kail yee..). Di ujung danau itu terlihat rute perjalan yang talah kami lewati.. hmm.. lumayan jauh juga…
2 komentar:
mantap dach infonya
In september 2011 willen wij de Theefabriek Malabar Tanara bezoeken vanuit Bandung. Kunt u ons meer vertellen?
Leo Feijten Holland
nng@biak.info
Posting Komentar